Waspadai Inflasi Akibat Gejolak Harga Pangan

24-01-2018 / KOMISI XI

Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Muharram. foto:doc

 

 

Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Muharram mengungkapkan polemik impor 500 ribu ton beras menjadi sinyal dari ketidakmampuan pemerintah mengelola kebutuhan pangan nasional. Dampak yang akan dirasakan ekonomi akibat carut marut ini ialah melonjaknya inflasi selain tentu saja tergerusnya daya beli petani. Pemerintah harus waspada terharap polemik tersebut.

 

“Kita semua paham bahwa beras bukan hanya terkait dengan petani tetapi kemiskinan, inflasi, hingga suku bunga. Data BPS menyebutkan bahwa komoditas beras menyumbang sekitar 20 persen dari garis kemiskinan. Artinya, saat harga beras naik maka kemiskinan akan melambung,” ungkap Ecky dalam keterangan tertulisnya, Rabu (24/1/2018).

 

Peranan beras dalam struktur inflasi, lanjut Ecky juga sangat dominan melalui inflasi harga barang bergejolak (volatile food). Inflasi tinggi akan memicu suku bunga tinggi dan memperburuk daya saing ekonomi. Thailand memiliki daya saing ekonomi lebih baik dari Indonesia karena ditopang oleh inflasi rendah, terutama inflasi pangan.

 

“Meski sudah muncul fakta-fakta yang demikian, pemangku kepentingan tetap berani menyebutkan stok beras aman. Memang, di atas kertas data stok aman, tetapi fakta di lapangan telah menunjukkan lonjakan harga. Indonesia 'seperti' bukan lagi negara agraris karena kebutuhan pangan telah dipasokan dari lahan negara lain. Kita mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Pakistan yang luas lahan pertaniannya lebih sempit dari Indonesia,“ ujar legislator asal Jawa Barat ini.

 

Ecky menambahkan persoalan pemenuhan pangan sangat kompleks, mulai dari penurunan luas lahan produktif (konversi ke lahan nonproduktif), sarana produksi pertanian, pembiayaan, hingga masalah harga pasar. Berbagai kondisi tersebut bermuara pada relatif buruknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani cenderung turun karena harga yang diterima petani lebih murah dari harga yang harus dibayar.

 

“Situasi yang demikian semakin rumit karena jamaknya kebijakan instan yang ditempuh pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan.  Padahal kita telah menganggarkan fungsi ketahanan pangan sejumlah Rp 105 T dalam APBN 2017. Ini menunjukan tidak efektif kinerja pemerintah dalam bidang ini.“ tutup Ecky.

 

Sebagaimana diketahui, anggaran Rp 105 triliun tersebut tersebar di Kementerian Pertanian (Rp 24,1 triliun); Kementerian Kelautan Perikanan (Rp 6,4 triliun); Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Rp 10,7 triliun) dan Kementerian Sosial (Rp 1,7 triliun). Sementara itu anggaran non K/L mencapai Rp 62,4 triliun. Pada 2018, data ketahanan pangan mengalami penurunan menjadi Rp 99,1 triliun dimana anggaran di kementerian meningkat menjadi Rp 52,3 triliun; sedangkan anggaran non K/L turun menjadi Rp 46,8 triliun. Penurunan paling signifikan terjadi pada subsidi pangan, dari Rp 19,8 triliun (APBN-P 2017) menjadi Rp 7,3 triliun). (hs/sc)

BERITA TERKAIT
Fathi Apresiasi Keberhasilan Indonesia Bergabung dalam BRICS, Sebut Langkah Strategis untuk Perekonomian Nasional
08-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi, menyampaikan apresiasi atas pengumuman resmi yang menyatakan Indonesia sebagai anggota penuh...
Perusahaan Retail Terlanjur Pungut PPN 12 Persen, Komisi XI Rencanakan Panggil Kemenkeu
05-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menegaskan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu)...
Edukasi Pasar Modal Sejak Dini Dapat Meningkatkan Literasi Keuangan Generasi Muda
04-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi menyambut baik usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menginginkan edukasi...
Anis Byarwati Apresiasi Program Quick Win Prabowo: Potensi Kebocoran Anggaran Harus Diminimalisasi
25-12-2024 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap komitmen Presiden Prabowo untuk menjadikan...